Amalan Sunah dan Tata Cara Salat Idul Adha

Halo Sobat Ekis, pasti udah gak sabar menunggu momen Idul Adha kan? Idul Adha yang dilaksanakan setiap 10 Dzulhijjah ini menjadi momen yang ditunggu – tunggu untuk kaum muslimin lhoo. Emangnya, apa sih yang spesial dari Hari Raya Idul Adha ini?

Pada Hari Raya Idul Adha, umat muslim yang telah mampu diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan melaksanakan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan, cinta, dan bersyukur kepada Allah SWT. Namun, selain ibadah haji dan menyembelih hewan qurban, Allah SWT memberikan jalan untuk meraih cintaNya melalui salat Idul Adha.

Seperti apa sih tata cara salat Idul Adha yang baik dan benar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Yuk simak dibawah!

  1. Niat

Niat salat Idul Adha apabila seorang muslim menjadi imam, yakni dengan bacaan:

Ushalli sunnatan li‘idiladha rakataini imaman lillahi ta’alaa

Artinya : “Aku niat salat sunah Idul adha dua rakaat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”

Dan niat salat Idul Adha apabila seorang muslim menjadi makmum, yakni dengan bacaan:

Ushalli sunnatan li ‘idiladha rakataini makmuuman lillahi ta’ala

Artinya : “Aku niat salat sunah Idul adha dua rakaat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.”

  1. Takbiratul Ihram
  2. Membaca doa iftitah dengan khusyuk

Bacaan doa iftitah yang paling singkat ialah “Allahu Akbar Kabiro Walhamdu Lillahi Katsira, Wa Subhanallahi Bukrotaw Washila.” (Doa iftitah adalah bagian dari sunah dalam salat).

  1. Membaca Takbir

Pada rakaat pertama, dilakukan dengan 7 kali takbir. Di sela – sela antara takbir, Sobat Ekis dapat melafalkan doa, “Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar.”

  1. Membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya seperti pada salat biasanya.
  2. Rukuk, serta thumaninah
  3. I’tidal, serta thumaninah
  4. Sujud 2 kali, serta thumaninah
  5. Duduk di antara 2 sujud
  6. Berdiri untuk melanjutkan rakaat kedua
  7. Membaca Takbir

Pada rakaat kedua, takbir dilakukan sebanyak 5 kali takbir. Di sela – sela antara takbir, sama seperti rakaat sebelumnya yakni Sobat Ekis dapat melafalkan doa, “Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar.”

  1. Rukuk, serta thumaninah
  2. I’tidal, serta thumaninah
  3. Sujud 2 kali, serta thumaninah
  4. Duduk di antara 2 sujud
  5. Membaca tahiyat akhir
  6. Mengucapkan salam

Berbeda dengan salat sunah Jum’at pada biasanya, dalam salat Idul Adha khotbah dilaksanakan setelah salat sunah selesai dikerjakan. Jadi, Sobat Ekis jangan sampai lupa ya!

Agar pahala Idul Adha Sobat Ekis makin maksimal, maka lebih baik jika Sobat Ekis melaksanakan amalan – amalan sunah sebelum dan sesudah salat Ied.

Ada beberapa amalan yang dapat Sobat Ekis lakukan sebelum melakukan salat Idul Adha, antara lain sebagai berikut:

  1. Dianjurkan untuk tidak memotong kuku ataupun rambut

Jika Sobat Ekis melaksanakan ibadah qurban, maka dianjurkan untuk tidak memotong kuku maupun rambut sebelum hewan qurban disembelih. Anjuran ini sesuai dengan hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam HR Muslim, nomor 1977.

  1. Mandi besar

Melakukan mandi besar yang dianjurkan untuk dilakukan sebelum berangkat ke lokasi pelaksanaan salat.

  1. Memakai pakaian terbaik yang dimiliki.
  2. Berangkat lebih awal

Usahakan berangkat lebih awal agar memperoleh shaf deretan terdepan dan ikut melantunkan takbir dengan jamaah lainnya.

  1. Mengumandangkan takbir

Amalan ini disunahkan sejak terbenamnya matahari di tanggal 10 Dzulhijjah sampai imam berkhotbah. Takbir dapat dilanjutkan sampai hari Tasyrik di tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

  1. Dianjurkan untuk tidak sarapan terlebih dahulu

Berbeda dengan salat Idul fitri, pada pelaksanaan salat Idul Adha Sobat Ekis dianjurkan untuk tidak sarapan maupun makan sebelum berangkat salat.

Berbeda dengan sebelumnya, setelah melaksanakan ibadah salat Idul Adha, ada beberapa amalan sunah yang dapat Sobat Ekis lakukan, berikut ini diantaranya:

  1. Menempuh perjalanan pulang ke rumah yang berbeda dengan arah kedatangan ketika menuju lokasi salat Ied.
  2. Setibanya di rumah/tempat tinggal Sobat Ekis, disarankan untuk makan. Biasanya, makan bersama usai salat ied ini dilakukan bersama dengan keluarga ataupun teman.
  3. Setelah melakukan pemotongan hewan qurban, jika Sobat Ekis berqurban maka dianjurkan untuk memotong rambut, kuku, dan menggunakan wewangian atau parfum.

Demikianlah informasi mengenai tata cara salat Idul Adha beserta amalan – amalan sunahnya. Semoga Sobat Ekis sekalian dapat memaksimalkan ibadah di Hari Raya Idul Adha ini dengan sebaik – baiknya, dan semoga ibadah kita semua diterima oleh Allah SWT. Aamiin yaa rabbal’alamiin.

Jadi Waktu Terbaik untuk Menikah, Apa Saja Keistimewaan Lain di Bulan Syawal?

Bulan Syawal merupakan bulan penanda kemenangan bagi umat muslim, khususnya kemenangan setelah satu bulan penuh beribadah khusyuk di bulan Ramadhan. Penanda kemenangan ini diawali dengan Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal. Tanggal 1 Syawal seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia mengumandangkan takbir. Oleh karena itu, bulan Syawal merupakan bulan dikumandangkannya takbir oleh seluruh umat Islam secara serentak, paling tidak selama satu malam begitu memasuki tanggal 1 Syawal.

Selain bulan Ramadhan, bulan Syawal juga merupakan salah satu bulan terbaik dalam Islam. Banyak amal ibadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Syawal ini. Diantaranya adalah puasa sunah 6 hari dan menikah di bulan Syawal.

Namun, bukan hanya itu saja. Seorang muslim dianjurkan untuk semakin meningkatkan ibadah dan amalan kepada Allah SWT pada bulan Syawal. Jadi, amalan pada bulan Ramadan tidak hanya berakhir di bulan puasa saja, namun terus berkelanjutan dan ditingkatkan pada bulan Syawal. Dosen Program Studi Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia. Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E berpendapat,

“Setelah Ramadhan berakhir, seorang muslim mempunyai tantangan tersendiri untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan ketakwaan yang sudah diperolehnya melalui ibadah-ibadah di bulan Ramadhan. Bulan syawal menjadi momentum terbaik untuk bisa mulai menaklukkan tantangan itu.”

Banyak keistimewaan lain di bulan Syawal yang dapat dirasakan oleh umat Muslim. Tak hanya itu, ada pula beberapa amalan di bulan ini yang bisa dilakukan untuk menyempurnakan ibadah Ramadan. Apa sajakah keistimewaan lain di bulan Syawal? Berikut penjelasannya.

  1. Bulan Kemenangan

Kebanyakan orang memaknai bulan Syawal sebagai bulan kemenangan atau kemerdekaan umat Islam. Mereka merasa menang sebab telah berhasil melewati ujian menahan lapar dan hawa nafsu ketika puasa selama sebulan penuh.

Terkadang, beberapa orang salah memaknai tanggal 1 Syawal. Idul Fitri dianggap sebagai bulan kebebasan. Padahal, bulan Syawal seharusnya menjadi keberlanjutan dari bulan Ramadan dengan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik yang telah dilakukan sebelumnya.

Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E  menabahkan, “Allah SWT menyukai hambanya yang istiqamah dalam beribadah dan beramal saleh. Sebagaimana Allah SWT memfasilitasi hambanya di bulan ramadhan dengan kesempatan besar untuk melakukan ibadah, begitu juga di bulan syawal. Kesempatan beribadah dengan ganjaran luar biasa juga tetap bisa ditemukan di bulan syawal.”

 

  1. Puasa 6 Hari Setara Puasa Setahun Penuh

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keistimewaan bulan Syawal yang pertama adalah puasa 6 hari. Puasa 6 hari pada bulan Syawal ini biasanya dilakukan mulai hari kedua bulan Syawal, karena di hari pertama yaitu saat hari raya Idul Fitri diharamkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Setelah menjalani puasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadan, puasa 6 hari di bulan Syawal ini menjadi pelengkap atau penyempurna amalan pada bulan Ramadan.

Walaupun biasa dilakukan pada hari kedua bulan Syawal, banyak juga yang melaksanakan ibadah puasa 6 hari di bulan Syawal ini pada minggu kedua bulan Syawal. Hal ini disebabkan karena minggu pertama Syawal kebanyakan orang masih merayakan hari raya Idul Fitri dengan bersilaturahmi ke rumah keluarga maupun teman.

Keutamaan puasa Syawal terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Muslim. Hadis itu berasal dari Abu Ayyub Al Anshori yang pernah mendengar sabda Nabi Muhammad SAW.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR Muslim).

 

  1. Bulan Pembuktian Takwa

Keistimewaan lainnya di bulan Syawal, yakni sebagai bulan pembuktian takwa. Walaupun Ramadan telah usai, bulan ini menjadi tantangan untuk membuktikan keberhasilan ibadah yang dikerjakan saat bulan suci tersebut. Hal ini tentu akan menjadi pembuktian tingkat derajat ketakwaan dan keistiqomahan seseorang di hadapan Allah SWT.

Oleh karena itu, di bulan ini umat muslim sangat dianjurkan untuk melanjutkan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan di bulan Ramadan, seperti sholat qiyamul lail berupa tahajud, witir, puasa sunah, bersedekah, dan amalan – amalan baik lainnya.

 

  1. Bulan silaturahmi

Di hari raya yang jatuh pada 1 Syawal biasanya digunakan untuk saling mengunjungi kerabat, teman, dan orang-orang di sekitar. Bahkan, di hari raya Idul Fitri umat muslim terkadang saling berjumpa dengan kerabat yang sudah lama tidak ditemuinya. Hal tersebut membuat bulan Syawal memiliki keistimewaan tersendiri untuk saling bersilaturahmi.

Jadi, tidak perlu heran bila bulan Syawal begitu istimewa dengan menjadi salah satu bulan dimana kebanyakan umat muslim bersilaturahmi. Bulan Syawal merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan dari Allah SWT dengan silaturahmi dan bermaaf – maafan yang dilaksanakan oleh seluruh umat islam.

 

  1. Kesempatan Mengganti Ibadah I’tikaf yang Tertinggal di Bulan Ramadhan

Di bulan Syawal, umat muslim juga memiliki kesempatan untuk mengganti ibadah i’tikaf yang tertinggal di bulan Ramadan karna belum sempat melaksanakannya. Bulan Syawal dapat dikatakan sebagai penyempurna amalan yang belum bisa dilaksanakkan saat Ramadan.

Mengganti ibadah i’tikaf di bulan Syawal juga turut dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rasul pernah melakukan i’tikaf di lain hari, yaitu pada sepuluh hari terakhir bulan Syawal sebagai ganti (qadha’) i’tikaf yang belum sempat dilakukan saat Ramadan.

 

  1. Bulan pernikahan

Keistimewaan bulan Syawal yang terakhir adalah melaksanakan pernikahan. Tentunya Sobat Ekis sudah tidak asing lagi dengan keistimewaan bulan Syawal satu ini, pasalnya sering sekali setelah hari raya Idul Fitri banyak umat Islam yang melaksanakan pernikahan.

Namun sebenarnya, pada masa jahiliyah bulan Syawal justru dianggap sebagai bulan yang tidak baik dan membawa sial sehingga penduduk Makkah dilarang menikah di bulan tersebut. Mitos itu muncul sebab di suatu bulan Syawal pernah terdapat wabah penyakit yang menjangkit kawasan Makkah. Rasulullah SAW kemudian mematahkan mitos tersebut dengan menikahi putri Abu Bakar, Siti Aisyah, pada bulan Syawal.

 “Rasulullah SAW menikahiku saat bulan Syawal dan mengadakan malam pertama dengan aku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian selain aku?” (HR. Muslim, An Nasa’i).

Jadi menikah di bulan Syawal merupakan salah satu sunah rasul, dimana Nabi Muhammad SAW menikah pada bulan Syawal.

 

“Hal terpenting bagi seorang muslim adalah menyadari bahwa syawal merupakan bulan yang tak kalah istimewa dibanding bulan ramadhan ataupun bulan-bulan hijriyah lainnya. Kita berdoa semoga semangat ramadhan bisa tetap hidup di bulan-bulan lainnya terutama di bulan syawal yang diberkahi ini. Aamiin allahumma amin.” Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E  dalam penutupnya.

10 Keutamaan di 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Sebagai seorang Muslim, 10 hari terakhir Ramadhan merupakan momen penuh keharuan dan kekhawatiran. Keharuan akan istimewanya 10 hari terakhir Ramadhan yang terdapat malam lailatul qadar didalamnya, dan kekhawatiran apakah masih dapat bertemu lagi dengan Ramadhan tahun berikutnya dengan segala keterbatasan umur yang dimiliki.

Maka dari itu, 10 hari terakhir Ramadan ini banyak orang yang memanfaatkannya dengan beribadah lebih khusyuk dan lebih baik lagi. Banyak di antaranya yang melakukan i’tikaf di masjid selama 10 hari terakhir Ramadan, sesuai dengan suatu hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu anha, “Rasulullah sangat bersungguh – sungguh beribadah pada 10 hari terakhir (bulan Ramadhan), melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut.” (HR. Muslim).

Dari hadis tersebut, terlihat keutamaan semangat beribadah Rasulullah SAW di 10 hari terakhir Ramadan. Bahkan sosok Rasulullah SAW yang sangat dijamin masuk surga oleh Allah SWT, justru lebih giat beribadah demi meraih ridha-Nya. Salah satu dari banyaknya keutamaan 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah turunnya malam Lailatul Qadar, malam yang mulia dan mempunyai nilai lebih dari 1000 bulan. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda:

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, pada malam yang ke sembilan tersisa, malam yang ke tujuh tersisa, malam yang ke lima tersisa,” (HR. Bukhari).

Karena itu, umat Islam sangat disarankan untuk beribadah, terutama ibadah malam pada 10 hari terakhir Ramadhan. Selain menjadi malam 1.000 bulan, beberapa keutamaan 10 malam terakhir bulan Ramadhan ini akan menambah keistimewaannya. Di antaranya yakni:

  1. Malam diturunkannya Al-Qur’an

Dalam QS Al-Baqarah ayat 185, Allah SWT berfirman “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah…”

  1. Malam yang lebih baik dari seribu bulan

Maksudnya ialah saat mengerjakan amalan pada malam lailatul Qadar, nilainya lebih baik dari seribu bulan. Apabila melakukan amal kebaikan, akan dihitung seperti melakukan kebaikan selama seribu bulan. Dalam QS Al-Qadr ayat 2-3 Allah SWT berfirman: “Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”

  1. Malam penuh keberkahan

Disebut sebagai malam penuh keberkahan karena pada saat lailatul qadar, para malaikat di utus oleh Allah SWT untuk turun ke bumi dan membagi-bagikan rahmat serta keberkahan bagi manusia yang beribadah dengan sungguh-sungguh di malam itu.

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.  Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Al-Dukhan: 3-5).

  1. Malam kesejahteraan

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qadar ayat 5 yang berbunyi, “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” Lailatur qadar adalah malam yang sangat indah bagi umat muslim. Pada malam  itu, umat muslim tidak hanya diliputi keberkahan tapi juga kesejahteraan.

  1. Malam penuh ampunan

Disampaikan oleh Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr atas dorongan iman dan mengharap balasan (dari Allah), diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R Al Bukhari, An Nasa’i, dan Ahmad).

Seseorang yang bertaubat dan berdoa maka dosa-dosa di masa lalu akan diampuni oleh Allah SWT. Karena pada malam tersebut Allah SWT membukakan pintu ampunan dengan lebar.

  1. Malaikat – malaikat turun ke bumi

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS. Al- Qadar ayat 4). Pada malam lailatul qadar, malaikat Jibril dan malaikat lainya turun ke bumi membawa rahmat, keberkahan, serta kesejahteraan. Maka dari itu, mari perbanyak membaca doa di malam – malam ganjil sepuluh hari terakhir ramadhan. Sungguh, betapa beruntungnya orang yang memperoleh keberkahan di malam tersebut.

  1. Malam penuh kebaikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya bulan Ramadhan ini telah menghampiri kalian. Dan di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari menjumpainya, maka sungguh dia telah terhalang dari seluruh kebaikan. Dan tidaklah terhalang dari menjumpainya kecuali orang-orang yang merugi.” (HR Ibnu Majah).

Dari hadist tersebut, Rasulullah SAW menunjukkan betapa berartinya malam lailatul qadar. Sebab pada malam tersebut seluruh kebaikan diperuntukan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Sedangkan bagi yang menghiraukan malam tersebut menjadi orang-orang yang merugi karena tidak mendapatkan apa-apa.

  1. Pintu langit dibuka

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah Ta’ala wajibkan kalian untuk berpuasa padanya, dibukakan padanya pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu neraka Jahim, dan dibelenggu setan-setan yang membangkang. Pada bulan tersebut, Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan (seseorang beribadah selama itu). Barangsiapa terhalang dari kebaikannya, sungguh ia orang yang terhalang (dari seluruh kebaikan)” (HR. An-Nasai).

Di bulan ramadhan, termasuk pada malam lailatul qadar Allah SWT akan membukakan pintu-pintu langit dan para malaikat juga akan turun bumi.

  1. Pintu neraka ditutup

Keistimewaan lain dari bulan ramadhan yang didalamnya ada malam lailatul qadar yakni ditutupnya pintu neraka. Malam tersebut hanya dipenuhi kebaikan-kebaikan. Umat muslim yang menjalankan ibadah ikhlas karena Allah SWT akan disejukkan hatinya dan dipenuhi keberkahan.

  1. Pahala dilipat gandakan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhar-Muslim).

Hadist tersebut menjelaskan bahwa segala amalan yang dikerjakan pada bulan ramadhan akan dilipat gandakan, bahkan hingga tujuh ratus kali lipat. Baik itu solat sunnah, membaca Al-quran dan perbuatan-perbuatan kebaikan lainnya. Kecuali puasa yang akan dibalas oleh Allah SWT.

Setelah mengetahui keutamaan – keutamaan 10 hari terakhir bulan Ramadhan diatas, tentunya Sobat Ekis harus lebih giat untuk beribadah agar memperoleh keberkahan dari malam tersebut. Yang perlu diingat ialah, malam lailatul qadar tidak dating setiap harinya, namun hanya 1 kali dalam setahun. Amalan – amalan apa saja yang harus ditingkatkan di 10 hari terakhir Ramadhan kali ini? Yuk simak selengkapnya disini.

“Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf. Mana Yang Lebih Penting?”

Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf, atau yang bisa dikenal dengan singkatan ZISWAF ini tentu sudah tidak asing lagi bagi Sobat Ekis tentunya. Karena ZISWAF menjadi salah satu instrumen untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia. ZISWAF mendorong agar harta mengalir dan tidak menumpuk, serta mendorong perekonomian masyarakat tumbuh secara sehat dan adil.

Namun, manakah instrumen ZISWAF yang lebih penting untuk dikembangkan? Apakah zakat, infak, sedekah, atau wakaf? Sebelum mengetahui mana yang lebih penting, yuk kita cari tau terlebih dahulu apa pengertian dan perbedaan dari Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf.

Zakat merupakan Rukun Islam yang ke-3 serta wajib dikeluarkan untuk harta tertentu yang sudah mencapai haul dan nishabnya, dan diberikan hanya kepada golongan tertentu yakni 8 asnaf (Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharimin, Fisabilillah dan Ibnu Sabil).

Sedangkan Infak adalah mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika zakat ada nisabnya, Infak tak mengenal nishab. Sementara kata sedekah adalah segala bentuk pembelanjaan (Infak) di jalan Allah. Berbeda dengan zakat, sedekah tidak dibatasi atau tidak terikat dan tidak memiliki batasan-batasan tertentu. Sedekah, selain bisa dalam bentuk harta, dapat juga berupa sumbangan tenaga atau pemikiran, dan bahkan sekedar senyuman.

Wakaf sendiri merupakan pemberian aset yang berupa tanah, gedung, rumah, kendaraan, masjid, dan aset lainnya yang bersifat produktif. Aset tersebut nantinya akan dikelola oleh lembaga atau badan wakaf agar bisa dikelola dengan baik dan sesuai dengan syariat islam. Wakaf ini merupakah salah satu amal jariah bagi yang melakukannya. “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus lah amalannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang di manfaatkan, dan doa anak yang shalih.” (HR. Muslim).

Sampai sini, udah tau kan perbedaan dari masing – masing instrumen ZISWAF di atas? Singkatnya, jika zakat adalah harta tertentu yang hanya diberikan untuk orang – orang tertentu dan dengan waktu tertentu, Infak merupakan segala macam bentuk pengeluaran (pembelanjaan), baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun yang lainnya. Pengertian sedekah sama dengan Infak, termasuk juga ketentuan dan hukumnya. Namun, sedekah memiliki arti luas, tak hanya menyangkut hal uang namun juga yang bersifat non materil. Sedangkan wakaf, adalah suatu aset yang diberikan untuk dimanfaatkan kegunaannya, bukan diberikan secara keseluruhan.

Menurut dosen Manajemen dan Praktikum ZIS PSEI Ibu Martini Dwi Pusparini, SHI., MSI, Zakat merupakan salah satu bentuk filantropi dalam Islam dan  mekanisme penting bagi pembangunan negara karena membantu menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dengan menjembatani kesenjangan antara  kaya dan miskin.

Ibu Martini menambahkan, “Pada 2015 – 2019 pertumbuhan Zakat, Infak, Sedekah, dan DSKL (Dana Sosial Keagamaan Lainnya) menunjukkan tren yang positif, dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan sebesar 34,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja lembaga zakat terus meningkat dan kesadaran masyarakat terhadap penyaluran zakat oleh lembaga publik meningkat sebesar 4.444 setiap tahunnya.”

Selain itu, wakaf juga merupakan instrumen penting dalam kerangka sosial Islam selain Zakat, Infak, dan Sedekah. Karena wakaf dapat memanfaatkan potensi pemberian amal tanpa pamrih dengan cara yang efektif untuk dampak ekonomi yang lebih baik di segmen sosial masyarakat yang ditargetkan.

“Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tentunya Indonesia juga memiliki potensi wakaf yang sangat besar. Terlebih lagi, Indonesia juga dinobatkan sebagai negara paling dermawan di antara 140 negara lainnya di dunia berdasarkan Laporan dari World Giving Index yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation (CAF) pada tahun 2021 lalu. Hal ini memunculkan harapan untuk membangkitkan semangat berwakaf khususnya bagi kaum muslim di Indonesia.”

Dan yang terakhir, Ibu Martini menyampaikan “Penelitian yang dilakukan oleh Ascarya (2021) menunjukkan bahwa Keuangan Sosial Islam dengan instrumennya khususnya zakat, Infak dan wakaf dapat membantu pemerintah dan perekonomian untuk pulih dari krisis. Solusi yang diusulkan meliputi: menyelamatkan nyawa (melalui bantuan medis dari ZISWAF); menyelamatkan rumah tangga, dengan membuat jaring pengaman sosial menggunakan zakat-Infak; menyelamatkan pelaku usaha, khususnya usaha mikro kecil (UMK), melalui bantuan keuangan dan usaha (khususnya digital marketing).”

Sehingga, dalam ekonomi islam baik Zakat, Infak, Sedekah, maupaun Wakaf adalah instrumen yang sama pentingnya untuk kemaslahatan umat muslim di manapun. Oleh karena itu, intrumen ZISWAF ini tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri – sendiri dan ditentukan bahwa lebih penting dibandingkan dengan instrumen yang lainnya. Karena setiap bagian dalam ZISWAF ini memiliki manfaatnya tersendiri walaupun dengan satu tujuan yang sama, yaitu mencapai Mashlahah.

“Riba Bukan Hanya Soal Bunga Bank?! Apa Penjelasannya?”

Dalam konteks Ekonomi Islam, memakan riba termasuk salah satu dosa besar. Namun, pada praktiknya masih banyak masyarakat yang bingung dengan praktik riba dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan transaksi perbankan. Sehingga, bank konvensional pun masih menjadi pilihan nasabah Muslim termasuk untuk meminjam dana. Tentunya pada perbankan konvensional berlaku bunga, baik itu bunga pinjaman maupun bunga simpanan. Sebenarnya apa itu Riba?

Riba dalam bahasa Arab adalah az-ziyadah, yang artinya tambahan atau kelebihan. Jika dalam konteks umum, kelebihan yang dimaksud ialah tambahan terhadap harta atau pokok utama. Mengutip Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bila ‘iwadh) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadah al-ajal) yang diperjanjian sebelumnya (ini yang disebut riba nasi’ah).

Dalam Al – Qur’an, riba dijelaskan dalam QS. Ali Imran ayat 130 tentang larangan memakan riba, yang berbunyi:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Menurut dosen Program Studi Ekonomi Islam (PSEI) UII Bapak Adi Wicaksono, SE., MEI, “Riba di perbankan konvensional, berupa bunga mungkin sudah difahami oleh Sobat Ekis semua. Namun, ada pula riba yang biasa ditemui di lingkungan sekitar rumah tangga, yaitu bunga pinjaman pada kas RT RW. Biasanya ibu – ibu desawisma atau semacamnya, punya kas yg menganggur. Nah, dana itu dipinjamkan ke anggota dasawisma dengan sistem bunga”

“Selain itu, adapula bunga di pasar modal konvensional, yaitu yang terjadi pada transaksi margin trading. Investor dipinjami dana dari sekuritas untuk bertransaksi, dan atas pinjaman dana tersebut investor dikenakan bunga” tambah pak Adi.

Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Hidayatulloh SHI MH dalam percakapan dengan mui.or.id mengatakan, ada beberapa jenis riba menurut para ulama. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hanbali riba dibagi menjadi riba fadhl dan nasi’ah. Syafi’iyyah membagi riba menjadi fadhl, nasi’ah, yad, dan qardh. Sedangkan Ibn Ruysd membaginya menjadi riba jual beli (bai’) dan riba karena hutang.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa riba bukan hanya berupa bunga bank saja. Jadi, mari kenali jenis – jenis riba yang diharamkan dalam Al – Qur’an dan hadist di bawah ini:

  1. Riba Jahiliah

Riba Jahiliah merupakan jenis riba yang bentuknya pelunasan utang dengan jumlah yang lebih besar daripada pinjaman pokoknya. Umumnya riba semacam ini dikenakan ketika peminjam tidak mampu membayar utang sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

  1. Riba Qardh

Riba Qardh merupakan jenis riba paling umum ketika seseorang meminjam uang dengan waktu pelunasan (tenor) dan bunga tertentu. Misalnya, peminjaman uang Rp60 juta dengan bunga sebesar 15% dan waktu pelunasan 6 bulan. Besaran bunga biasanya menjadi persyaratan yang diberikan oleh pemberi utang.

  1. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah penambahan nilai dari kegiatan tukar menukar barang atau transaksi jual beli. Misalnya, ketika menukarkan uang pecahan Rp100.000 dengan lembaran Rp2.000-an, tetapi hanya mendapatkan 48 lembar saja, bukan 50 sehingga totalnya tidak lagi seperti nilai awalnya, yakni hanya Rp96.000.

  1. Riba Nasi’ah

Riba nasiah merupakah kelebihan yang diperoleh lewat transaksi jual beli dalam waktu tertentu. Barang yang digunakan dalam transaksi tersebut jenisnya sama, hanya saja dalam pembayarannya ada penangguhan

  1. Riba Yad

Riba yad terjadi dalam transaksi (baik jual beli maupun tukar menukar barang) yang awalnya terjadi tanpa adanya kelebihan. Namun, karena adanya penundaan pembayaran akibat ada salah satu pihak yang meninggalkan akad sebelum serah terima barang, maka nilainya menjadi bertambah.

Supaya Sobat Ekis terhindar dari segala jenis transaksi riba yang telah diharamkan, berikut tips dari Bapak Adi Wicaksono, SE., MEI yaitu:

  1. Mengenal Transaksi yang Mengandung Riba

Sobat Ekis harus mengenal terlebih dahulu transaksi – transaksi yang mengandung riba. Untuk itu, harus semangat belajar, membaca, meningkatkan literasi keuangan konvenensional, agar kita tidak terjebak disana.

  1. Berdiskusi dan Melihat Praktek di Lapangan

Sobat Ekis perlu sering – sering berdikusi, melihat praktek di lapangan, sehingga tidak hanya cukup dengan mengenal teori di kampus. Tetapi, mahasiswa juga perlu berinteraksi dengan dunia nyata.

Itulah pengertian, jenis – jenis, dan tips supaya Sobat Ekis semua tidak terjebak dalam transaksi riba yang telah diharamkan Allah swt. Semoga, kita dapat membangun perekonomian Indonesia yang bebas riba dan berkembang ke arah yang lebih baik. Aamiin yaa rabbal’alamiin.

Tips Meraih Malam Lailatul Qadar

Bulan suci ramadhan merupakan bulan yang mulia, dimana didalamnya terdapat peristiwa yang luar biasa yakni salah satunya adalah malam lailatul qadar. Secara bahasa, lailatul qadar berarti malam ketetapan. Menurut Dr Ahmad Thayyib (Grand Syekh Al Azhar) bahwa lailatul qadar dapat dimaknai dengan berbagai penafsiran, diantaranya sebagai malam yang dipenuhi dengan ampunan Allah SWT, pada malam ini amalan-amalan umat muslim diterima disisi-Nya, mereka dibebaskan dari api neraka, ibadah yang dilakukan pada malam tersebut lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan, pada malam lailatul qadar para malaikat diperintahkan turun ke bumi untuk mengucapkan salam kepada orang-orang mukmin yang mau berpuasa dan memintakan ampunan kepada Allah SWT untuk mereka.

Masjid Ulil Albab, Kampus Terpadu UII

Demikianlah betapa mulianya lailatul qadar yang hanya disiapkan oleh Allah SWT khusus pada bulan Ramadhan, dalam beberapa hadist malam ini terletak pada 10 hari terakhir pada bulan ramadhan, dan tidak ada yang tahu di malam yang mana ia akan datang. Diantara berbagai banyak informasi mengenai malam lailatul qadar hal yang terpenting adalah kita tidak boleh menyia-nyiakannya dengan bermalas-malasan, tetapi sebaliknya kita tingkatkan semua ibadah kita demi meraih malam yang lebih baik dari pada seribu bulan itu.

Tidak ada yang tahu dengan pasti terkait ciri-ciri datangnya malam lailatul qadar. Hal tersebut merupakan kehendak Allah SWT. Namun, dalam beberapa hadist disebutkan sebagian tanda-tanda yang terjadi ketika malam lailatul qadar itu datang, diantaranya:

Terkhusus malam Lailatul Qadar sendiri, Rasulullah SAW bersabda: “Carilah Lailatul qadar (di malam-malam  ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan,” (H.R. Bukhari).

Ubay bin Ka’ab RA, Rasulullah SAW bersabda: Keesokan hari malam Qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan,” (HR. Muslim)

Dalam meraih malam lailatul qadar, ada beberapa arahan dari para ulama terkait amalan-amalan yang harus ditingkatkan, beberapa perbuatan yang dianjurkan yaitu kita hendaknya berusaha untuk beribadah, menambah amal-amal kebaikan baik itu shalat, istighfar (meminta ampunan), membaca Al-Qur’an, maupun meminta rahmat dari Allah swt., karena Allah SWT akan menerima semua amal di malam ini yang tidak akan diterima di malam-malam lainnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasul, andaikan aku bertemu lailatul qadar, do’a apa yang bagus dibaca? Rasul menjawab:

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni

Yang artinya: “Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai orang yang minta ampunan. Karenanya ampunilah aku” (HR. Ibnu Majah)

 

Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk meraih malam lailatul qadar. (Aamiin)

 

Sumber Pemateri: Rheyza Virgiawan, Lc., M.E.

 

Hal-Hal Yang Perlu Dipersiapkan Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Bulan suci ramadhan disebut sebagai bulan yang mulia dan merupakan bulan yang sangat ditunggu kedatangannya oleh kaum muslim mengingat datangnya bulan ramadhan hanya sekali dalam satu tahun. Banyak hal yang menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang mulia, di antaranya adalah bulan pengampunan dosa, dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka, dilipatgandakannya pahala-pahala ibadah, terbuka kesempatan untuk meraih lailatul qadr, dan kemulian lainnya. Dengan melimpahnya keutamaan bulan Ramadhan, datangnya bulan Ramadhan sudah seharusnya menjadi kabar gembira buat kita semua sekaligus menjadi motivasi agar kita tidak menyia-nyiakannya.

Dalam sebuah riwayat hadis dinyatakan bahwa ketika datang bulan Ramadhan, Rasulullah saw. menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya. Beliau saw. berkata: “Ramadhan telah mendatangi kalian. Bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa. Pada bulan ini  pintu langit dibuka, pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka terhalangi dari kebaikan.” (HR. Ahmad)

Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Hal pertama yang harus hadir dalam diri adalah rasa syukur kepada Allah bahwa kita masih diberi kesempatan sekali lagi untuk bisa merasakan manisnya beribadah di bulan Ramadhan. Hal kedua adalah niat dan tekad yang kuat untuk bisa memaksimalkan ibadah serta kesadaran bahwa Ramadhan hanya sebentar, oleh karenanya tidak elok ketika kita hanya rajin di awal namun menyia-nyiakannya setelah beberapa hari berlalu. Selain itu, setiap muslim seyogyanya melengkapi dirinya dengan ilmu terutama tentang fiqh Ramadhan untuk menyempurnakan setiap ibadah yang dilakukannya. Sebagai tambahan, akan lebih baik lagi kalau setiap muslim punya rencana dan target agar pelaksanaan ibadah Ramadhan lebih teratur.

Doa untuk menyambut bulan suci ramadhan

Selain doa yang biasa kita ucapkan sejak bulan rajab, yaitu:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan.”

 

Bisa juga membaca seperti bacaan doa para sahabat, yaitu:

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.”

 

Sumber Pemateri: Sofwan Hadikusuma, Lc., M.E

GAYA HIDUP HALAL SEBAGAI USAHA UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

GAYA HIDUP HALAL SEBAGAI USAHA UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

Oleh: Fitri Eka Aliyanti,SHI.,MA

 

“Rasulullah saw. bersabda: Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (H.R. Bukhari)

Para pembaca yang dirahmati Allah, benar adanya sabda Rasulullah saw. yang beliau katakan beratus tahun yang lalu tersebut. Modernisasi yang merupakan tanda kemajuan ilmu pengetahuan manusia seringkali tidak sejalan dengan kondisi iman dan takwa. Tidak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.

Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan. Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”

Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut. Yusuf Qardhawi (1993) menjelaskan mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud) (Ghazali, 2007).

Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ali (2016) menjelaskan bahwa kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.

Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.

Mengapa Harus Halal?

            Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud). Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.

Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya. Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah saw. agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.” (Ghazali, 2007). Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah swt.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.” Kemudian Rasulullah saw. menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (Sarwat, 2014).

Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah swt. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.?

Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah swt. Yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut (Sarwat,2014):

  1. Wujud keimanan kepada Allah

Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah swt.

  1. Agar doa tidak terhalang

Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.

  1. Mencegah api neraka

Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.

  1. Mencegah timbulnya penyakit

Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.

  1. Tidak mengikuti langkah setan

Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam as. dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah swt. menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.

Kesimpulan

            Para pembaca yang dirahmati Allah swt., demikianlah ulasan mengenai halal haram yang bisa penulis sampaikan. Dari sini kita memahami bahwa halal-haram bukan saja mengenai makanan dan minuman, akan tetapi menyeluruh ke segala aspek kehidupan. Dan kita juga bisa memahami bahwa pengaruh kehalalan sangat besar terhadap kualitas hubungan dan kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan itu selanjutnya akan berpengaruh terhadap terkabul atau tidaknya doa-doa yang kita panjatkan sebagai hajat hidup kita di dunia. Selain itu pula, Allah akan memelihara jiwa mereka yang melaksanakan gaya hidup halal baik di dunia (dengan kesehatan), maupun di akhirat (dengan terhindarnya tubuh kita dari api neraka). Wallahu a’lam bis shawaab.

Referensi

Al Ghazali, Imam. 2007. Rahasia Halal-Haram: Hakikat Batin Perintah dan Larangan Allah. Terjemahan oleh Iwan Kurniawan. Bandung: Mizania

Ali, Muchtar. 2016. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah: Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri Halal. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

Sarwat, Ahmad. 2014. Halal atau Haram?Kejelasan Menuju Keberkahan. Jakarta: Gramedia

Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh Mu’ammal Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu

HIKMAH HIJRAH

HIKMAH HIJRAH

Oleh: Dr. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag

 

Hijrah identik dengan proses perpindahan, yaitu pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain guna mencari keselamatan diri dan mempertahankan aqidah agar lebih dekat kepada Allah Sang Pencipta. Imam Abu Dawud dalam riwayatnya telah memperjelas hijrah dengan makna proses mendekatkan diri kepada Allah Swt. (Dawud, t th) Dengan kata lain adalah perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya. Hijrah tidak selalu diartikan dengan berpindah tempat, namun berpindahnya itulah yang disebut hijrah. Hijrah pada haikatnya adalah berpindah menuju kebaikan. Misalnya dari orang yang berkepribadian buruk berusaha menjadi orang yang lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka seseorang akan memperoleh banyak keutamaan: (Shihab, 2002)

Keutamaan pertama, orang yang melakukan hijrah akan mendapatkan keluasan rizki, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 100 yang artinya:

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Keutamaan kedua, orang yang hijrah akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya. Hal ini berdasarkan al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195 yang artinya:

Maka, orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Pada sisi-Nya pahala yang baik.”

Keutamaan ketiga, orang yang hijrah akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah dan mendapatkan jaminan surga-Nya. Hal ini dapat dibaca dalam surat at-Taubah ayat 20-22 yang artinya:

”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Keutamaan keempat, orang yang hijrah akan diberikan kemenangan dan meraih keridhaan-Nya. Dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 100 disebutkan, yang artinya:

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Di antara peristiwa sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah Saw., adalah peristiwa hijrah Sang Nabi dan sahabatnya dari kota Mekkah ke kota Madinah. Dalam peristiwa tersebut tampak sosok manusia yang begitu kokoh dalam memegang prinsip yang diyakini, tegar dalam mempertahankan aqidah, dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Sehingga sejarah pun dengan bangga menorehkan tinta emasnya untuk mengenang sejarah hijrah tersebut, agar dapat dijadikan tolok ukur dalam pembangunan masyarakat masa kini, menuju masyarakat madani dan rabbani. Tegak di atas kebaikan, kebenaran, dan tegas terhadap kekufuran.

Perintah hijrah yang bermakna non-fisik telah diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw., di masa pertama kenabiannya. Hal ini dapat  ditemukan dalam wahyu-wahyu awal sebagaimana terekam dalam surat al-Muzammil ayat 10 dan al-Mudatstsir ayat 5. Tiga belas tahun kemudian, Nabi dan para sahabat diperintahkan melakukan hijrah fisik demi menyelamatkan iman mereka dari gangguan masyarakat kafir Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas hijrah, baik dalam arti fisik ataupun non-fisik, merupakan konsep yang sangat penting dalam struktur ajaran agama.

Agama, selalu dilukiskan sebagai jalan kebenaran. Konsep-konsep seperti syari’ah, thariqah, dan shirath, yang mewakili kata lain dari agama, semuanya memiliki arti jalan. Salah satu korelasi yang paling kuat dengan pengertian jalan adalah gerak. Orang yang berada di jalan haruslah bergerak. Orang yang berhenti di jalan berarti menyalahi sifat dasar jalan itu sendiri. Oleh karena itu, orang Islam harus bergerak dan dinamis. Hal itu dinyatakan dengan sangat jelas dalam peristiwa hijrah. Dengan demikian, peristiwa hijrah adalah peristiwa bergerak menuju kebaikan dan kebenaran secara dinamis.

Kedinamisan tersebut terbukti dengan peristiwa Rasulullah sesampainya di Kota Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad kemudian melakukan banyak langkah penting guna memulai titik balik kemajuan Islam sebagai agama peradaban. Di antara langkah penting yang dilakukan Nabi adalah membangun masjid, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, mengubah nama Kota Yatsrib menjadi Kota Madinah, membuat kesepakatan sosial-politik dengan suku-suku Yahudi yang mendiami wilayah itu, dan lain sebagainya.

Melalui hijrah itulah Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah yang berciri egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.

Dari paparan tersebut, terdapat pelajaran yang bisa dipetik untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat masa kini demi mencapai perubahan ke arah yang lebih baik.

Pelajaran pertama adalah, bahwa kita harus memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran agama maupun nilai-nilai kemanusiaan. Kemungkaran tersebut di antaranya seperti korupsi, menindas sesama manusia, menipu, berbohong, merampas hak orang lain, dan masih banyak yang lain.

Kedua, masyarakat harus memiliki sikap dinamis dalam merespon perubahan zaman demi mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Sikap dinamis itu dimanifestasikan dengan cara mengambil hal terbaik dari masa kini, dengan tetap mempertahankan warisan terbaik dari masa lalu.

Ketiga, bahwa perubahan yang dicita-citakan itu harus didasarkan kepada arah dan tujuan yang jelas. Tujuan tersebut kemudian harus dilengkapi dengan kematangan strategi dan taktik supaya gagasan-gagasan yang besar dapat diterjemahkan ke dalam dunia nyata.

Keempat, untuk menuju perubahan yang dicita-citakan, nilai-nilai spiritual menjadi suatu keniscayaan yang harus dibina. Spiritualitas adalah sisi yang paling dalam dari diri manusia sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, jika spiritualitas tidak mendapatkan tempat dalam diskursus perubahan, maka bisa dipastikan perubahan itu hanya bersifat semu dan tak bermakna.

Kelima,  perubahan yang dicita-citakan tak akan terjadi apabila persatuan sosial dalam masyarakat tidak tercipta. Berdasarkan hal inilah, perbedaan-perbedaan yang merupakan keragaman tidak boleh menghalangi kita untuk bergerak menuju tujuan bersama. Perbedaan suku, ras, kelas sosial, bahkan agama, tidak boleh menjadikan masyarakat terpecah, karena ia adalah modal sosial untuk membangun kemajuan.

Keenam, sudah saatnya kita memberikan penghargaan kepada sesama terutama dalam konteks menjadikannya pemimpin berdasarkan prestasi yang telah dicapainya, dan bukan berdasarkan prestise, apalagi keturunannya.

Ketujuh, bahwa perubahan harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan menjadi contoh dalam menjalankan perubahan tersebut. Kemampuan inilah yang dimiliki Nabi Muhammad Saw., dalam memimpin masyarakat Madinah untuk menuju perubahan yang berperadaban.

Di atas semua itu, proses hijrah harus kita lakukan demi menuju perubahan yang dicita-citakan bersama. Karena hanya dengan hijrah-lah kita dapat mencapai tujuan sosial dari kehidupan beragama dan berbangsa yaitu menciptakan kehidupan yang beradab dengan memuliakan seluruh manusia berdasarkan prestasi yang dilakukannya.