EKONOMI ISLAM DAN CHARACTER BUILDING

EKONOMI ISLAM DAN CHARACTER BUILDING

H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.Sy, M.Sh.Ec

[email protected]

Prolog: Urgensi Character Building

Beberapa waktu terakhir ini, halaman utama media cetak dan berita utama berbagai media elektronik di Indonesia dihiasi oleh berita yang terkait dengan korupsi pejabat, suap menyuap, pencucian uang, penggelapan uang nasabah bank, tindak kekerasan, dan lain-lain yang menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi karakter bangsa. Bahkan menurut Kemendagri, antara tahun 2004-2017 terdapat 392 Kepala daerah tersangkut hukum, jumlah terbesar adalah korupsi sejumlah 313 kasus (Jawapos.com). Sendi-sendi kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya tengah berada pada situasi yang sangat membahayakan kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan manusia yang adil dan beradab. Ini semua akibat dari perilaku-perilaku manusia yang tidak bermoral yang menunjukkan nihilnya karakter dalam dirinya.

Menurut Erie Sudewo, faktor tidak memiliki karakter merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perilaku tidak terpuji manusia, baik yang berpangkat maupun tidak berpangkat (Erie Sudewo, 2011). Manusia yang memiliki karakter kuat tidak akan mudah tergoda. Mereka akan konsisten dengan kebenaran dan nilai-nilai luhur yang dipegangnya. Tapi begitulah kenyataannya, banyak yang dulu meneriakkan anti KKN, tetapi begitu masuk dalam sistem dan menikmati jabatan dan uang, ternyata mereka menjadi bagian dari jaringan KKN itu sendiri.

Kenyataan yang demikian itu, menunjukkan bahwa untuk menjadikan bangsa ini adil makmur dan sejahtera, dibutuhkan SDI yang berkarakter yang pada akhirnya menjadi karakter bangsa, yaitu sekumpulan dari karakter-karakter individu dalam sebuah negara. Untuk membangun karakter bangsa, memang tidaklah semudah membalik telapak tangan, tetapi bukan berarti tidak mungkin dan tidak bisa. Harus ada ikhtiar yang terus menerus dalam berbagai lini dan aspek kehidupan.

Praktik Ekonomi Islam sebagai Media Character Building

Di antara ikhtiar yang mungkin dilakukan adalah membangun karakter bangsa melalui aspek kehidupan berekonomi. Hal ini didasari fakta bahwa faktor ekonomi seringkali menjadi faktor utama perilaku manusia menjadi tidak bermoral dan tidak berkarakter. Misalnya kasus korupsi pejabat yang banyak terjadi akhir-akhir ini juga didasari motif ekonomi (khususnya uang) yaitu untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Kasus suap menyuap juga dilandasi motif ekonomi yaitu untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Kasus pencucian uang juga didorong oleh motif ekonomi yaitu untuk menghilangkan jejak pencurian uang dan korupsi uang yang dilakukannya. Penggelapan uang nasabah bank juga dilandasi motif ekonomi dengan menyalahgunkaan wewenang dan akses untuk memperkaya diri sendiri dengan cara mencuri uang nasabah, dan lain-lain. Itu semua menunjukkan bahwa penting sekali membangun karakter bangsa dari aspek perilaku berekonomi.

Dalam hal berekonomi, sejak tahun 1990-an telah dimulai praktik ekonomi Islam terutama di sektor keuangan yaitu dengan berdirinya Bank Syariah pertama di Indonesia (Bank Muamalat). Perkembangan selanjutnya hingga kini sangat menggembirakan, bahkan saat ini area praktik ekonomi Islam semakin meluas, baik sektor keuangan maupun sektor riil. Selain bank Syariah, telah hadir asuransi Syariah, pasar modal Syariah, pegadaian Syariah, reksadana Syariah, sukuk, leasing Syariah, venture Syariah, bisnis Syariah (hotel Syariah, kuliner berbasis Syariah, wisata Syariah, desa wisata Syariah, wisata religi), dan lain-lain. Semua kegiatan ekonomi yang berdasarkan Syariah tersebut, merupakan aktivitas ekonomi yang berkarakter dan bermoral, karena landasan aktifitas yang mendasari aktifitas ekonomi tersebut merupakan nilai-nilai yang bersumberkan dari ajaran Islam yang sarat dengan moral. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa praktik ekonomi Islam dapat menjadi media yang efektif bagi pembentukan karakter bangsa.

Ekonomi Islam telah memberikan panduan yang jelas dalam bertransaksi agar menghasilkan transaksi yang halal dan tayyib. Ekonomi Islam juga telah menggariskan jenis-jenis transaksi yang dilarang dalam transaksi bisnis di sektor riil yaitu: (1) Membuat dan menjual barang-barang yang najis, seperti bangkai, babi, anjing, arak, tahi, kencing dan lain-lain. (2) Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam (membawa kepada mafsadat dan maksiat) atau yang mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan seseorang individu itu lupa untuk beribadah kepada Allah. (3,4,5) Transaksi yang mengandung unsur riba, gharar, perjudian (6) Bay‘ ma‘dum (7) Melakukan penipuan dalam transaksi. (8) Membeli di atas belian orang lain. (9) Melakukan penimbunan (ihtikar), dan lain-lain (Humaisy dan al-Husein Syawat, 2001).

Bahkan ekonomi Islam menentukan kualifikasi transaksi ekonomi yang dianggap mengandung cacat yang dapat mengakibatkan batalnya kontrak dan transaksi yang dilakukan. Terdapat kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, yaitu adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaaan atau kehendak sebagian pihak (‘uyub al-taradi aw ‘uyub al-iradah). Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan akad.

Dengan berbagai ketentuan ekonomi Islam yang harus dijadikan guidance dalam transaksi ekonomi, pelaku ekonomi sektor riil akan terjaga untuk melakukan aktivitas bisnis tercela, sehingga ketika pelaku bisnis itu menerapkan secara sungguh semua ketentuan ekonomi Islam tersebut akan terjaga karakternya, sehingga di sini dapat dikatakan bahwa praktik ekonomi Islam berkontribusi besar dalam membangun karakter bangsa melalui membangun karakter pelaku ekonomi.

Sedangkan dalam ranah ekonomi sektor keuangan dapat dicermati dari berbagai ketentuan ekonomi Islam yang juga mengikat praktik ekonomi Islam. Misalnya larangan perdagangan utang (debt trading) dan perilaku spekulasi (maysir) yang marak dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan Amerika dan Eropa. Dalam teori keuangan Islam, tidak dibolehkan membayar utang dengan utang dan memperjualbelikan utang (bay’ al-dain). Hal ini untuk mencegah terjadinya ketidakmampuan membayar (default) oleh debitur yang bersangkutan yang dapat berujung pada kepailitan (bankcruptcy).

Dalam hukum ekonomi Islam, ada beberapa jenis transaksi yang tidak dibolehkan antara lain yaitu riba, taghrir, maysir, tadlis. Larangan terhadap riba sudah jelas dengan diharamkannya berbagai bentuk bunga pinjaman. Larangan ini bukan hanya didasarkan pada larangan mengeksploitasi pihak yang membutuhkan kredit, tetapi lebih kepada terciptanya iklim ekonomi yang lebih adil dengan bergeraknya sektor riil, bukan hanya sektor keuangan. Kalau sebagian besar orang merasa lebih nyaman mendapatkan uang dengan bunga, maka sektor riil tentu tidak bergerak. Akibatnya perdagangan barang dan jasa jadi terhambat dan ekonomi masyarakat memburuk dan mengundang terjadinya krisis.

Penutup

Dengan demikian, jika berbagai ketentuan ekonomi Islam yang harus dijadikan guidance dalam transaksi ekonomi di sektor riil maupun keuangan itu dipatuhi oleh semua pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan terjerumus untuk melakukan aktivitas ekonomi dan keuangan yang tercela, sehingga ketika pelaku ekonomi dan keuangan itu menerapkan secara sungguh semua ketentuan ekonomi Islam tersebut akan terjaga karakternya, sehingga di sini dapat dinyatakan bahwa praktik ekonomi Islam dalam berbagai aspek dan bidangnya dapat menjadi media yang berkontribusi besar dalam character building bangsa Indonesia melalui membangun karakter pelaku ekonomi baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Untuk itu, mari terus kita galakkan praktik ekonomi Islam dalam semua aspek kehidupan ekonomi agar terwujud manusia Indonesia berkarakter yang menunjang tercapainya negara Indonesia yang adil dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Ibadah Kurban dan Kemandirian Ekonomi Umat

Ibadah Kurban dan Kemandirian Ekonomi Umat

Oleh : Tulasmi, SEI., MEI

Setiap tahun umat Islam diseluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam penanggalan hijriyah setiap tahunnya ini pastilah identik dengan pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan hewan kurban. Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam, tentunya yang memiliki kemampuan baik secara fisik maupun kemampuan finansial. Sedangkan penyembelihan hewan kurban juga merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam dalam rangka meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai status hukum ibadah kurban ini, antara wajib-bagi orang yang memiliki kelapangan rizki-atau sunnah muakkad (sunnah yang dikuatkan/ ditekankan). Namun pelaksanaan ibadah kurban di Indonesia setiap tahunnya menjadi salah satu agenda yang ditunggu-tunggu baik dari sisi pekurban maupun dari sisi orang-orang yang berhak menerima daging hasil sembelihan hewan kurban tersebut. Hari raya Idul Adha adalah adalah hari raya yang dapat mencerminkan sisi ketakwaan kepada Allah SWT (hablum minallah) sekaligus akan melatih seorang muslim pada sisi sosial kemanusiaannya (hablum minannas).

Hikmah Ibadah Kurban

Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan kepada setiap muslim dengan syarat dan rukun yang sudah ditentukan (ibadah mahdah). Pelaksanaan ibadah kurban merupakan salah satu upaya bagi seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Ibadah kurban memiliki beberapa hikmah yang dapat diambil oleh seorang muslim:

  1. Meneladani dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim alaihissalam secara khusus dan juga mengikuti sunnah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Nabi Ibrahim alaihissalam yang menerima perintah dari Allah SWT, untuk menyembelih anaknya. Dan dengan kehendak Allah SWT anak tersebut digantikan dengan hewan sembelihan yang lain. Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى  قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ  سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ١٠٢ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ١٠٣ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ١٠٤ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا  إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ١٠٥ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ١٠٦ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ١٠٧ [الصافات: 102-107]

Yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Q.S.ash-Shaaffaat/37: 102-107)

  1. Mewujudkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan nikmat bagi seorang muslim. Wujud rasa syukur seorang muslim dapat diwujudkan setidaknya dalam 3 bentuk. Pertama bersyukur dalam hati. Wujud syukur ini dengan menyadari dan meyakini sepenuhnya bahwa setiap nikmat yang kita terima semata-mata adalah karena kehendak Allah SWT. Kedua yaitu bentuk syukur melalui lisannya, misalnya dengan mengucapkan “alhamdulillahirabbil ‘alamin”. Ketiga adalah wujud syukur dalam bentuk perbuatan. Rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan adalah dengan mempergunakan nikmat yang telah diberikan Allah tersebut pada jalan kebaikan dan diridhoi-Nya. Maka, bagi seorang muslim yang menjadi pekurban ia tengah berusaha mewujudkan rasa syukurnya dalam bentuk perbuatan yaitu melaksanakan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
  2. Melatih seorang muslim untuk ikhlas. Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim tentunya diupayakan mencapai derajat ikhlas tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih apapun kecuali hanya mengharap balasan dari Allah SWT. Ibadah kurban yang dilakukan dengan penyembelihan hewan kurban dan merelakan sebagian hartanya untuk membeli hewan sembelihan
  3. Memiliki kepekaan secara sosial kepada sesama. Daging hasil sembelihan hewan kurban dapat dimanfaatkan atau dimakan oleh shohibul qurban maupun disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Tentunya dengan aktivitas ini dapat melatih seorang muslim untuk memiliki kepekaan dan kepedulian secara sosial kepada sesama.

Dampak Ibadah Kurban bagi Perekonomian

Disisi lain, pelaksanaan ibadah kurban dengan penyembelihan hewan kurban ini baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak positif terhadap perputaran roda perekonomian umat. Di Indonesia sendiri, jumlah kebutuhan hewan kurban selalu naik setiap tahunnya. Pada tahun 2018 ini, Kementrian Pertanian memperkirakan kebutuhan hewan kurban untuk Hari Raya Idul Adha 1438 Hijiyah mencapai 1,5 juta ekor. Angka tersebut terdiri dari 4 jenis hewan kurban yang biasa disembelih oleh masyarakat muslim di Indonesia. Yaitu, s‎api sebanyak 462.339 ekor, k‎erbau sebanyak 10.344 ekor, k‎ambing sebanyak 793.052 ekor, dan domba sebanyak 238.853 ekor. Dengan jumlah tersebut, jika kita menghitung rata-rata harga satu ekor sapi dan kerbau Rp 15 juta, dan harga satu ekor kambing dan domba Rp 3 juta, maka jumlah rupiah yang berputar dalam sekali pelaksanaan ibadah kurban mencapai kurang lebih Rp 10 triliun. Jumlah angka yang tentunya memiliki nilai ekonomis dalam perputaran roda perekonomian Indonesia.

Kebutuhan hewan kurban yang cukup besar tersebut tentunya harus didukung dengan penyediaan hewan kurban oleh peternak. Peluang inilah yang saat ini telah mulai digarap oleh peternak secara mandiri maupun yang diinisiasi oleh beberapa lembaga zakat di Indonesia. Lembaga-lembaga zakat berupaya melaksanakan program yang bermuara pada satu rantai lingkaran distribusi hewan kurban. Pelaksanaan program tersebut diupayakan dapat mendorong sisi fundraising maupun sisi penyalurannya dana ZIS-nya dalam satu program sekaligus. Di sisi fundraising lembaga zakat menerima donasi dan penyaluran hewan kurban dari para pekurban. Sedangkan di sisi penyaluran dana ZIS, lembaga zakat melaksanakan program penyaluran ZIS produktif.

Melalui program penyaluran ZIS produktif, lembaga zakat berupaya melakukan pemberdayaan mustahik. Salah satunya dengan mendorong dan melakukan pembinaan serta pendampingan bagi mustahik untuk memelihara hewan ternak yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hewan kurban. Di satu sisi lembaga zakat dapat melaksanakan program penyaluran dana ZIS-nya melalui pemberdayaan mustahik. Dan disisi lainnya, lembaga zakat akan memiliki stok kebutuhan hewan kurban, yang diperlukan pada saat pelaksanaan ibadah kurban yang dipercayakan oleh pekurban kepadanya.

Dengan pola seperti ini, ibadah kurban selain memiliki dimensi peningkatan ketakwaan secara individual bagi seorang muslim, menunjukkan kepedulian sosial terhadap sesama manusia dan juga tentunya akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan umat. Dengan pengelolaan yang baik atas rantai distribusi kebutuhan hewan kurban diharapkan akan mampu menjadi salah satu roda penggerak kegiatan ekonomi masyarakat. Yang pada akhirnya bersama-sama dengan instrumen ekonomi Islam yang lain akan membentuk kemandirian ekonomi umat Islam khususnya dan perekonomian negara pada umumnya.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Mahasiswa Ekonomi Islam UII Ikuti Conference Internasional di Malaysia

Mahasiswa Program Studi Ekonomi Islam kembali terlibat aktif dalam kegiatan Internasional. Kali ini Muhammad Fakhri Zain Al Rasyid (Ekonomi Islam 2017), mempresentasikan hasil penelitianya dalam Kegiatan 12th International Conference on Malaysia-Indonesia Relations 2018 dengan tema “Strengthening the Identity, Enriching Regional Commonality” yang diadakan pada 1-2 Agustus 2108 di University of Malaya, Malaysia. Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan secara bergantian di Indonesia dan Malaysia oleh konsorium University of Malaya, Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Negeri Yogyakarta, dan beberapa universitas lainya. Tidak sendiri, Fakhri dan Rekan timnya yang terdiri dari Dita Sari Lutfiani (Ekonomi Islam 2017), Fajri Anivagustin (Ekonomi Islam 2017) dibimbing oleh Siti Achiria Dr., S.E.,M.M. yang merupakan dosen Prodi Ekonomi Islam. Tim tersebut mengangkat topik tentang kritik pengelolaan zakat yang diterapkan di Indonesia dengan memberikan usulan model pengelolaan zakat yang diterapkan di Malaysia.

Penelitian yang bertajuk “Zakat Management Model in Indonesia (Referring to Zakat Management System in Malaysia)” membahas  tentang kritik atas pengelolaan zakat yang saat ini diterapkan di Indonesia dan memberikan usulan model pengelolaan zakat yang diterapkan di Malaysia, mengacu pada pengelolaan zakat di Malaysia yang mana secara realisasi perolehan zakat di Malaysia lebih besar dibandingkan Indonesia (sekitar 6-7 triliun IDR). Hal tersebut berbanding terbalik dengan realita bawasanya Indonesia yang sebenarnya memiliko potensi lebih besar dengan mayoritas penduduk muslimnya, justru hanya terealisasi sekitar 3 triliun IDR).

Fakhri selaku presenter utama dalam tim tersebut merasa mendapatkan pengalaman yang sangat berkesan.”karena ini frist time, awalnya agak gugup. Apalagi mayoritas presenter mahasiswa S2 dan S3 yang notabene dosen bahkan professor.” Paparnya. Walaupun sempat gugup, ia merasa bangga karena mendapatkan kesempatan yang jarang didapatkan ini. “terus belajar, jangan malu bertanya pada teman ataupun dosen dan perbanyak membaca literatur seperti jurnal, buku maupun berita agar tetap up to date” pesan fakhri untuk para mahasiswa yang juga ingin mencari pengalaman yang sama. Prestasi ini diharapkan mampu menginspirasi mahasiswa lainya, dimana sebagai mahasiswa baru tidak menutup kemungkinan untuk sudah mulai berprestasi.

Prodi Ekonomi Islam Kembali Berangkatkan Sea-Teacher

Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia kembali  memberangkatkan mahasiswanya mengikuti program Pre- Service Student Teacher Exchange in Shoutheast Asia (SEA_Teacher Project) yang diselenggarakan oleh Shoutheast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO). Program ini dilaksanakan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari dan Agustus. Pada periode bulan Agustus ini, PSEI memberangkatkan dua mahasiswinya yaitu Nurdina Nisaa Filanti mahasiswa PSEI angkatan 2015 dan Zakiyah Ramadhanty Siregar mahasiswa PSEI angkatan 2016.

Sebelum keberangkatan, delegasi mendapatkan pembekalan oleh dosen Program Studi Ekonomi Islam berupa materi social culture oleh Anom Garbo, SEI, ME. , Teaching skill oleh Tulasmi SEI., MEI, dan communication skill (Bahasa Inggris) oleh Martini Dwi Pusparini, SHI, MSI. serta  sharing session dengan Nafis Husna Khoirunnisa dan M Fakhri Al-Kahfi yang merupakan alumni program yang sama. Kedua alumni tersebut berbagi pengalamanya  mengenai persiapan keberangkatan, pelaksanaan kegiatan, laporan pasca kegiatan, hingga tahap responsi. Nurdina dan Danti berhasil lolos menjadi delegasi PSEI setelah menempuh seleksi berkas dan Interview oleh koodinator program pada tingkat universitas. Kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan dengan tanggal keberangkatan yang berbeda setiap delegasinya dan diikuti oleh berbagai perwakilan universitas di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia yang baru bergabung menjadi peserta pada tahun ini.  Rangkaian kegiatan berupa observasi, teaching assistant, actual teaching, dan pembuatan laporan. Bila sebelumnya, PSEI memberangkatkan dua mahasiswanya ke Filipina, pada kesempatan kali ini Nurdina ditempatkan di Saint Paul University of Surigao (SPUS) Surigao, Filipina dan mengajar Subject Marketing & Entrepreneur Grade 12 sedangkan Dzakiyah mengajar Bahasa Inggris di Ayutthaya Rajabath University (ARU) Thailand.

Peran aktif mahasiswa Program Studi Ekonomi Islam dalam program tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi Sumber Daya Manusia (SDM) ekonom islam yang tidak hanya mumpuni sebagai praktisi di lembaga keuangan, namun juga siap menjadi akademisi atau pendidik di tengah masyarakat.

Prodi Ekonomi Islam Kembali berangkatkan PKL Sea-Teacher

Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia kembali  memberangkatkan mahasiswanya mengikuti program Pre- Service Student Teacher Exchange in Shoutheast Asia (SEA_Teacher Project) yang diselenggarakan oleh Shoutheast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO). Program ini dilaksanakan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari dan Agustus. Pada periode bulan Agustus ini, PSEI memberangkatkan dua mahasiswinya yaitu Nurdina Nisaa Filanti mahasiswa PSEI angkatan 2015 dan Zakiyah Ramadhanty Siregar mahasiswa PSEI angkatan 2016.

Sebelum keberangkatan, delegasi mendapatkan pembekalan oleh dosen Program Studi Ekonomi Islam berupa materi social culture oleh Anom Garbo, SEI, ME. , Teaching skill oleh Tulasmi SEI., MEI, dan communication skill (Bahasa Inggris) oleh Martini Dwi Pusparini, SHI, MSI. serta  sharing session dengan Nafis Husna Khoirunnisa dan M Fakhri Al-Kahfi yang merupakan alumni program yang sama. Kedua alumni tersebut berbagi pengalamanya  mengenai persiapan keberangkatan, pelaksanaan kegiatan, laporan pasca kegiatan, hingga tahap responsi. Nurdina dan Danti berhasil lolos menjadi delegasi PSEI setelah menempuh seleksi berkas dan Interview oleh koodinator program pada tingkat universitas. Kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan dengan tanggal keberangkatan yang berbeda setiap delegasinya dan diikuti oleh berbagai perwakilan universitas di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia yang baru bergabung menjadi peserta pada tahun ini.  Rangkaian kegiatan berupa observasi, teaching assistant, actual teaching, dan pembuatan laporan. Bila sebelumnya, PSEI memberangkatkan dua mahasiswanya ke Filipina, pada kesempatan kali ini Nurdina ditempatkan di Saint Paul University of Surigao (SPUS) Surigao, Filipina dan mengajar Subject Marketing & Entrepreneur Grade 12 sedangkan Dzakiyah mengajar Bahasa Inggris di Ayutthaya Rajabath University (ARU) Thailand.

Peran aktif mahasiswa Program Studi Ekonomi Islam dalam program tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi Sumber Daya Manusia (SDM) ekonom islam yang tidak hanya mumpuni sebagai praktisi di lembaga keuangan, namun juga siap menjadi akademisi atau pendidik di tengah masyarakat.

 

Ekonomi Kebahagiaan dan Ekonomi Islam

Ekonomi Kebahagiaan dan Ekonomi Islam

Rakhmawati, S.Stat, M.A.

 

Belum banyak yang mengetahui bahwa tanggal 20 Maret telah ditetapkan sebagai International Happiness Day oleh PBB sejak tahun 2012. Semua orang pasti setuju bahwa kebahagiaan merupakan hal utama yang ingin diraih. Dengan mengukur kebahagiaan, negara dapat terhindar dari “happiness traps”. Happiness traps telah terjadi di US dimana Produk Nasional Bruto terus meningkat namun kebahagiaan stagnan bahkan menurun (Beseiso, 2016). Pertumbuhan ekonomi memang menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa, namun pemerintah perlu memperhatikan hal lain dalam usaha menyejahterakan rakyatnya. Sejahtera dalam arti yang sesungguhnya, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

 

Dunia dikejutkan di pertengahan tahun 2017 dengan berita bunuh diri seorang vokalis grup band ternama Linkin Park. Ini membuktikan bahwa ketenaran dan uang yang berlimpah tidak dapat membeli kebahagiaan. Tentu saja hal ini tidak membuat uang menjadi unsur yang tidak penting dalam menentukan kebahagiaan. Angka bunuh diri tertinggi di tahun 2017 terdapat di negara Lithuania. Faktor utama dari tingginya angka bunuh diri di negara tersebut adalah adanya krisis ekonomi, pengangguran, dan multiplier effect lainnya.

 

Di tahap awal, manusia memerlukan materi untuk mendapatkan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan dasar. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, pentingnya uang dalam memenuhi kebahagiaan semakin menurun perannya. Suatu penelitian menyebutkan terdapat keterkaitan antara pendapatan dengan kebahagiaan di negara-negara berkembang namun tidak untuk negara maju.

 

Ekonomi kebahagiaan menyoroti variabel kebahagiaan sebagai tujuan utama manusia. Ekonomi kebahagiaan mengkombinasikan teknik para ekonom dan psikolog dalam mempelajari kesejahteraan. Studi oleh Easterlin (1974) tercatat sebagai pionir di bidang ini. Berdasarkan analisis data cross section negara-negara di dunia, disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan kebahagiaan. Fenomena ini disebut sebagai Easterlin Paradox.  Easterlin Paradox kebanyakan terjadi di negara-negara maju. Setiap negara memiliki tantangan untuk mewujudkan kesejahteraan. Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi tolak ukur kemajuan perekonomian suatu negara selama puluhan tahun. Namun demikian, para ekonom telah menekankan sejak diperkenalkannya PDB di tahun 1930-an untuk tidak menjadikan PDB indikator kesejahteraan secara umum. Tingginya pertumbuhan PDB dalam jangka panjang tidak memberikan solusi bagi masalah kemiskinan karena PDB memberikan gambaran aktivitas perekonomian namun tidak dapat mengukur economic well-being (Costanza, Hart, Talberth, & Posner, 2009). Sejak tahun 1970-an, ukuran kesejahteraan untuk melengkapi PDB mulai digunakan. antara lain Indeks Pembangungan Manusia, Green GDP, Index of Social Progress, dan Index Well-Being (termasuk di dalamnya kebahagiaan). Ekonom Islam juga telah mengembangkan index well-being dengan didasarkan pada nilai-nilai Islam seperti Islamic Human Development Index (Hendrieanto, 2009) dan Islamic index of Wellbeing (Batchelor, 2006).

 

Sebagai negara yang menempati peringkat atas dalam hal kebahagiaan, Bhutan memiliki GDP yang sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Hal ini menjadi salah satu motivasi negara Bhutan untuk menjadikan kebahagiaan sebagai isu penting di tingkat global. Bhutan merupakan negara yang pertama kali melakukan pengukuran kebahagiaan secara nasional dengan ukuran yang disebut Gross National Happiness (GNH) di tahun 1972. GNH Bhutan dikenal secara internasional setelah munculnya tulisan “Gross National Happiness is more important than the Gross Domestic Product” di Financial Times pada tahun 1986. Bank Dunia merilis World Happiness Report  pertama kali pada tahun 2012. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun indeks kebahagiaan mulai tahun 2014 berdasarkan Survey Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Berbagai survey di tingkat nasional maupun global telah memasukkan pertanyaan mengenai kebahagiaan dengan konsep self-reported happiness. Sebutlah survey World Values Survey (WVS), General Values Survey (GVS), dan Indonesian Family Life Survey (IFLS).

 

Kebahagiaan sangat berperan dalam menciptakan masyarakat yang baik dan merupakan summum bonum menurut Aristoteles. Kebahagiaan sangat berhubungan dengan konsep utilitas dalam ekonomi dan dapat menjadi proksi bagi utilitas yang seringkali tidak dapat diukur secara eksplisit. Jika dapat diukur secara akurat, atau paling tidak mendekati, kebahagiaan adalah variabel alami bagi ekonom untuk dimodelkan karena maksimisasi utilitas adalah ide sentral dalam ekonomi.

 

Ada beberapa teori dalam ekonomi kebahagiaan mengenai faktor seseorang dapat bahagia. Studi empiris pun telah banyak dilakukan untuk mengetahui signifikansi hal-hal yang dianggap berperan dalam menciptakan kebahagiaan.

 

Sumber kebahagiaan setiap orang pasti berbeda satu dengan lainnya. ada yang bahagia karena uang melimpah, kekuasaan, ketenaran, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah kebahagiaan yang bersumber dari hal duniawi tersebut akan stabil, akan terus membuat bahagia?

 

Ekonomi Kebahagiaan dalam Islam

Berbeda dengan Ekonomi Konvensional, perihal kebahagiaan telah mendapat posisi yang penting dalam Ekonomi Islam serta memiliki nilai moral dan filosofis yang dalam (Abde & Salih, 2015). Dalam Ekonomi Islam terdapat konsep Falah yang merupakan tujuan hidup. Falah berasal dari kata aflaha-yuflihu. Falah merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat (Misanam, Suseno, & Hendrieanto, 2012). Menurut Akram Khan dalam bukunya An Introduction to Islamic Economics, “Its verbal form aflah,, yuflihu means: to thrive; to become happy; to have good luck or success; to be successful.

 

Mungkin bisa kita katakan bahwa Ekonomi Islam telah memiliki bahasan mengenai Ekonomi Kebahagiaan dengan konsep Falah-nya. Khan (1994) menyebutkan tiga unsur falah yang masing-masing dapat dipilah menjadi aspek makro dan mikro (Khan, 1994).

 

Tabel 1 Aspek Mikro dan Aspek Makro dalam Falah

Unsur Falah Aspek Mikro Aspek Makro
Kelangsungan Hidup (biologi, ekonomi, sosial, politk) ·          Kesehatan, kebebasan keturunan, dsb

·          Kepemilikan faktor produksi

·          Persaudaraan dan harmoni hubungan sosial

·          Kebebabasn dalam partisipasi politik

·          Keseimbangan ekologi dan lingkungan

·          Pengelolaan sumber daya alam

·          Penyediaan kesempatan berusaha untuk semua penduduk

·          Kebersamaan sosial, ketiadaan konflik antarkelompok

Kebebasan berkeinginan ·          Terbebas dari kemiskinan

·          Kemandirian hidup

·          Penyediaaan sumber daya untuk seluruh penduduk dan untuk generasi yang akan datang
Kekuatan dan harga diri ·          Harga diri

·          Kemerdekaan, perlindungan terhadap hidup dan kehormatan

·          Kekuatan ekonomi dan kebebasan dari utang

·          Kekuatan milier

Sumber: Khan (1994)

 

Studi empiris ekonomi kebahagiaan telah banyak dilakukan baik di negara Barat maupun negara Timur. Faktor yang diteliti-pun bermacam-macam meliputi aspek ekonomi, kesehatan, hubungan interpersonal, dan politik. Helliwell, Layard, & Sachs (2017) menganalisis perbedaan kebahagiaan antar negara dan disimpulkan bahwa GDP per kapita, dukungan sosial, kesehatan, kebebasan menentukan pilihan, kemurahan hati, persepsi terhadap korupsi, serta positive dan negative affect adalah faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Positive affect merupakan perasaan kebahagiaan, tawa, dan kesenangan. Sedangkan negative affect adalah kekhawatiran, kesedihan, dan kemarahan. Lane (2017) menganalisis arah hubungan perilaku interpersonal dan perilaku individu terhadap kebahagiaan. Hasilnya terdapat dampak kausal yang positif antara trust terhadap kebahagiaan jangka pendek maupun jangka panjang. Bixter (2015) menggunakan data General Social Survey 2012 dan World Values Survey 2005 dan mengonfirmasi studi sebelumnya yang mengatakan bahwa kebahagiaan berkorelasi positif dengan political conservatism dan religiusitas. Ott (2011) melakukan analisis terhadap 130 negara mengenai Good Governance dan kebahagiaan. Good governance meningkatkan level kebahagiaan dan kesetaraan kebahagiaan. Salah satu aspek good governance adalah efektivitas pemerintahan yang dapat diukur dengan kualitas pelayanan publik.  Menurut Frey & Stutzer (2000), faktor kebahagiaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) faktor kepribadian dan demografi, (2) faktor makro dan mikro, dan (3) kondisi institusi atau konstitusi di perekonomian dan masyarakat.

 

Jika kita lihat, variabel-variabel yang digunakan dalam studi tersebut dapat dikawinkan dengan unsur-unsur falah. Namun demikian, sepertinya belum ada studi empiris mengenai faktor kebahagiaan/falah dalam literatur Ekonomi Islam. Studi yang paling mendekati dengan Ekonomi Kebahagiaan adalah yang berkaitan dengan perhitungan Index wellbeing. Batchelor (2016) misalnya, studi ini menghitung index yang disebut sebagai IIW (Islamic Index of Well-being) negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Faktor apa yang signifikan terhadap wellbeing belum menjadi cakupan studinya. Beseiso (2016) menjelaskan dalam tataran konsep, mengenai peran keuangan dan perbankan syariah memiliki dalam ekonomi kebahagiaan, bagaimana agar Bank Sentral memiliki peran efektif dalam pencapaian human wellbeing (kebahagiaan).

 

Penutup

Penilaian kesejahteraan dalam arti sesungguhnya, yakni sejahtera lahir dan batin/kebahagiaan perlu dijadikan isu penting agar tidak terjebak dalam unsur materi/uang semata. Piramida kebahagiaan yang terdiri atas tujuh belas tujuan Sustainable Development Goal (SDG) dan unsur-unsur  falah dapat dijadikan pijakan dalam menentukan variabel-variabel yang perlu dilibatkan.