EKONOMI ISLAM DAN CHARACTER BUILDING
EKONOMI ISLAM DAN CHARACTER BUILDING
H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.Sy, M.Sh.Ec
Prolog: Urgensi Character Building
Beberapa waktu terakhir ini, halaman utama media cetak dan berita utama berbagai media elektronik di Indonesia dihiasi oleh berita yang terkait dengan korupsi pejabat, suap menyuap, pencucian uang, penggelapan uang nasabah bank, tindak kekerasan, dan lain-lain yang menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi karakter bangsa. Bahkan menurut Kemendagri, antara tahun 2004-2017 terdapat 392 Kepala daerah tersangkut hukum, jumlah terbesar adalah korupsi sejumlah 313 kasus (Jawapos.com). Sendi-sendi kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya tengah berada pada situasi yang sangat membahayakan kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan manusia yang adil dan beradab. Ini semua akibat dari perilaku-perilaku manusia yang tidak bermoral yang menunjukkan nihilnya karakter dalam dirinya.
Menurut Erie Sudewo, faktor tidak memiliki karakter merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perilaku tidak terpuji manusia, baik yang berpangkat maupun tidak berpangkat (Erie Sudewo, 2011). Manusia yang memiliki karakter kuat tidak akan mudah tergoda. Mereka akan konsisten dengan kebenaran dan nilai-nilai luhur yang dipegangnya. Tapi begitulah kenyataannya, banyak yang dulu meneriakkan anti KKN, tetapi begitu masuk dalam sistem dan menikmati jabatan dan uang, ternyata mereka menjadi bagian dari jaringan KKN itu sendiri.
Kenyataan yang demikian itu, menunjukkan bahwa untuk menjadikan bangsa ini adil makmur dan sejahtera, dibutuhkan SDI yang berkarakter yang pada akhirnya menjadi karakter bangsa, yaitu sekumpulan dari karakter-karakter individu dalam sebuah negara. Untuk membangun karakter bangsa, memang tidaklah semudah membalik telapak tangan, tetapi bukan berarti tidak mungkin dan tidak bisa. Harus ada ikhtiar yang terus menerus dalam berbagai lini dan aspek kehidupan.
Praktik Ekonomi Islam sebagai Media Character Building
Di antara ikhtiar yang mungkin dilakukan adalah membangun karakter bangsa melalui aspek kehidupan berekonomi. Hal ini didasari fakta bahwa faktor ekonomi seringkali menjadi faktor utama perilaku manusia menjadi tidak bermoral dan tidak berkarakter. Misalnya kasus korupsi pejabat yang banyak terjadi akhir-akhir ini juga didasari motif ekonomi (khususnya uang) yaitu untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Kasus suap menyuap juga dilandasi motif ekonomi yaitu untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Kasus pencucian uang juga didorong oleh motif ekonomi yaitu untuk menghilangkan jejak pencurian uang dan korupsi uang yang dilakukannya. Penggelapan uang nasabah bank juga dilandasi motif ekonomi dengan menyalahgunkaan wewenang dan akses untuk memperkaya diri sendiri dengan cara mencuri uang nasabah, dan lain-lain. Itu semua menunjukkan bahwa penting sekali membangun karakter bangsa dari aspek perilaku berekonomi.
Dalam hal berekonomi, sejak tahun 1990-an telah dimulai praktik ekonomi Islam terutama di sektor keuangan yaitu dengan berdirinya Bank Syariah pertama di Indonesia (Bank Muamalat). Perkembangan selanjutnya hingga kini sangat menggembirakan, bahkan saat ini area praktik ekonomi Islam semakin meluas, baik sektor keuangan maupun sektor riil. Selain bank Syariah, telah hadir asuransi Syariah, pasar modal Syariah, pegadaian Syariah, reksadana Syariah, sukuk, leasing Syariah, venture Syariah, bisnis Syariah (hotel Syariah, kuliner berbasis Syariah, wisata Syariah, desa wisata Syariah, wisata religi), dan lain-lain. Semua kegiatan ekonomi yang berdasarkan Syariah tersebut, merupakan aktivitas ekonomi yang berkarakter dan bermoral, karena landasan aktifitas yang mendasari aktifitas ekonomi tersebut merupakan nilai-nilai yang bersumberkan dari ajaran Islam yang sarat dengan moral. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa praktik ekonomi Islam dapat menjadi media yang efektif bagi pembentukan karakter bangsa.
Ekonomi Islam telah memberikan panduan yang jelas dalam bertransaksi agar menghasilkan transaksi yang halal dan tayyib. Ekonomi Islam juga telah menggariskan jenis-jenis transaksi yang dilarang dalam transaksi bisnis di sektor riil yaitu: (1) Membuat dan menjual barang-barang yang najis, seperti bangkai, babi, anjing, arak, tahi, kencing dan lain-lain. (2) Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam (membawa kepada mafsadat dan maksiat) atau yang mendatangkan kelalaian hingga menyebabkan seseorang individu itu lupa untuk beribadah kepada Allah. (3,4,5) Transaksi yang mengandung unsur riba, gharar, perjudian (6) Bay‘ ma‘dum (7) Melakukan penipuan dalam transaksi. (8) Membeli di atas belian orang lain. (9) Melakukan penimbunan (ihtikar), dan lain-lain (Humaisy dan al-Husein Syawat, 2001).
Bahkan ekonomi Islam menentukan kualifikasi transaksi ekonomi yang dianggap mengandung cacat yang dapat mengakibatkan batalnya kontrak dan transaksi yang dilakukan. Terdapat kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, yaitu adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaaan atau kehendak sebagian pihak (‘uyub al-taradi aw ‘uyub al-iradah). Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan akad.
Dengan berbagai ketentuan ekonomi Islam yang harus dijadikan guidance dalam transaksi ekonomi, pelaku ekonomi sektor riil akan terjaga untuk melakukan aktivitas bisnis tercela, sehingga ketika pelaku bisnis itu menerapkan secara sungguh semua ketentuan ekonomi Islam tersebut akan terjaga karakternya, sehingga di sini dapat dikatakan bahwa praktik ekonomi Islam berkontribusi besar dalam membangun karakter bangsa melalui membangun karakter pelaku ekonomi.
Sedangkan dalam ranah ekonomi sektor keuangan dapat dicermati dari berbagai ketentuan ekonomi Islam yang juga mengikat praktik ekonomi Islam. Misalnya larangan perdagangan utang (debt trading) dan perilaku spekulasi (maysir) yang marak dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan Amerika dan Eropa. Dalam teori keuangan Islam, tidak dibolehkan membayar utang dengan utang dan memperjualbelikan utang (bay’ al-dain). Hal ini untuk mencegah terjadinya ketidakmampuan membayar (default) oleh debitur yang bersangkutan yang dapat berujung pada kepailitan (bankcruptcy).
Dalam hukum ekonomi Islam, ada beberapa jenis transaksi yang tidak dibolehkan antara lain yaitu riba, taghrir, maysir, tadlis. Larangan terhadap riba sudah jelas dengan diharamkannya berbagai bentuk bunga pinjaman. Larangan ini bukan hanya didasarkan pada larangan mengeksploitasi pihak yang membutuhkan kredit, tetapi lebih kepada terciptanya iklim ekonomi yang lebih adil dengan bergeraknya sektor riil, bukan hanya sektor keuangan. Kalau sebagian besar orang merasa lebih nyaman mendapatkan uang dengan bunga, maka sektor riil tentu tidak bergerak. Akibatnya perdagangan barang dan jasa jadi terhambat dan ekonomi masyarakat memburuk dan mengundang terjadinya krisis.
Penutup
Dengan demikian, jika berbagai ketentuan ekonomi Islam yang harus dijadikan guidance dalam transaksi ekonomi di sektor riil maupun keuangan itu dipatuhi oleh semua pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan terjerumus untuk melakukan aktivitas ekonomi dan keuangan yang tercela, sehingga ketika pelaku ekonomi dan keuangan itu menerapkan secara sungguh semua ketentuan ekonomi Islam tersebut akan terjaga karakternya, sehingga di sini dapat dinyatakan bahwa praktik ekonomi Islam dalam berbagai aspek dan bidangnya dapat menjadi media yang berkontribusi besar dalam character building bangsa Indonesia melalui membangun karakter pelaku ekonomi baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Untuk itu, mari terus kita galakkan praktik ekonomi Islam dalam semua aspek kehidupan ekonomi agar terwujud manusia Indonesia berkarakter yang menunjang tercapainya negara Indonesia yang adil dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.