HIKMAH HIJRAH
HIKMAH HIJRAH
Oleh: Dr. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag
Hijrah identik dengan proses perpindahan, yaitu pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain guna mencari keselamatan diri dan mempertahankan aqidah agar lebih dekat kepada Allah Sang Pencipta. Imam Abu Dawud dalam riwayatnya telah memperjelas hijrah dengan makna proses mendekatkan diri kepada Allah Swt. (Dawud, t th) Dengan kata lain adalah perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya. Hijrah tidak selalu diartikan dengan berpindah tempat, namun berpindahnya itulah yang disebut hijrah. Hijrah pada haikatnya adalah berpindah menuju kebaikan. Misalnya dari orang yang berkepribadian buruk berusaha menjadi orang yang lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka seseorang akan memperoleh banyak keutamaan: (Shihab, 2002)
Keutamaan pertama, orang yang melakukan hijrah akan mendapatkan keluasan rizki, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 100 yang artinya:
”Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keutamaan kedua, orang yang hijrah akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya. Hal ini berdasarkan al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195 yang artinya:
”Maka, orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Pada sisi-Nya pahala yang baik.”
Keutamaan ketiga, orang yang hijrah akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah dan mendapatkan jaminan surga-Nya. Hal ini dapat dibaca dalam surat at-Taubah ayat 20-22 yang artinya:
”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Keutamaan keempat, orang yang hijrah akan diberikan kemenangan dan meraih keridhaan-Nya. Dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 100 disebutkan, yang artinya:
”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Di antara peristiwa sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah Saw., adalah peristiwa hijrah Sang Nabi dan sahabatnya dari kota Mekkah ke kota Madinah. Dalam peristiwa tersebut tampak sosok manusia yang begitu kokoh dalam memegang prinsip yang diyakini, tegar dalam mempertahankan aqidah, dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Sehingga sejarah pun dengan bangga menorehkan tinta emasnya untuk mengenang sejarah hijrah tersebut, agar dapat dijadikan tolok ukur dalam pembangunan masyarakat masa kini, menuju masyarakat madani dan rabbani. Tegak di atas kebaikan, kebenaran, dan tegas terhadap kekufuran.
Perintah hijrah yang bermakna non-fisik telah diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw., di masa pertama kenabiannya. Hal ini dapat ditemukan dalam wahyu-wahyu awal sebagaimana terekam dalam surat al-Muzammil ayat 10 dan al-Mudatstsir ayat 5. Tiga belas tahun kemudian, Nabi dan para sahabat diperintahkan melakukan hijrah fisik demi menyelamatkan iman mereka dari gangguan masyarakat kafir Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas hijrah, baik dalam arti fisik ataupun non-fisik, merupakan konsep yang sangat penting dalam struktur ajaran agama.
Agama, selalu dilukiskan sebagai jalan kebenaran. Konsep-konsep seperti syari’ah, thariqah, dan shirath, yang mewakili kata lain dari agama, semuanya memiliki arti jalan. Salah satu korelasi yang paling kuat dengan pengertian jalan adalah gerak. Orang yang berada di jalan haruslah bergerak. Orang yang berhenti di jalan berarti menyalahi sifat dasar jalan itu sendiri. Oleh karena itu, orang Islam harus bergerak dan dinamis. Hal itu dinyatakan dengan sangat jelas dalam peristiwa hijrah. Dengan demikian, peristiwa hijrah adalah peristiwa bergerak menuju kebaikan dan kebenaran secara dinamis.
Kedinamisan tersebut terbukti dengan peristiwa Rasulullah sesampainya di Kota Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad kemudian melakukan banyak langkah penting guna memulai titik balik kemajuan Islam sebagai agama peradaban. Di antara langkah penting yang dilakukan Nabi adalah membangun masjid, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, mengubah nama Kota Yatsrib menjadi Kota Madinah, membuat kesepakatan sosial-politik dengan suku-suku Yahudi yang mendiami wilayah itu, dan lain sebagainya.
Melalui hijrah itulah Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah yang berciri egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.
Dari paparan tersebut, terdapat pelajaran yang bisa dipetik untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat masa kini demi mencapai perubahan ke arah yang lebih baik.
Pelajaran pertama adalah, bahwa kita harus memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran agama maupun nilai-nilai kemanusiaan. Kemungkaran tersebut di antaranya seperti korupsi, menindas sesama manusia, menipu, berbohong, merampas hak orang lain, dan masih banyak yang lain.
Kedua, masyarakat harus memiliki sikap dinamis dalam merespon perubahan zaman demi mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Sikap dinamis itu dimanifestasikan dengan cara mengambil hal terbaik dari masa kini, dengan tetap mempertahankan warisan terbaik dari masa lalu.
Ketiga, bahwa perubahan yang dicita-citakan itu harus didasarkan kepada arah dan tujuan yang jelas. Tujuan tersebut kemudian harus dilengkapi dengan kematangan strategi dan taktik supaya gagasan-gagasan yang besar dapat diterjemahkan ke dalam dunia nyata.
Keempat, untuk menuju perubahan yang dicita-citakan, nilai-nilai spiritual menjadi suatu keniscayaan yang harus dibina. Spiritualitas adalah sisi yang paling dalam dari diri manusia sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, jika spiritualitas tidak mendapatkan tempat dalam diskursus perubahan, maka bisa dipastikan perubahan itu hanya bersifat semu dan tak bermakna.
Kelima, perubahan yang dicita-citakan tak akan terjadi apabila persatuan sosial dalam masyarakat tidak tercipta. Berdasarkan hal inilah, perbedaan-perbedaan yang merupakan keragaman tidak boleh menghalangi kita untuk bergerak menuju tujuan bersama. Perbedaan suku, ras, kelas sosial, bahkan agama, tidak boleh menjadikan masyarakat terpecah, karena ia adalah modal sosial untuk membangun kemajuan.
Keenam, sudah saatnya kita memberikan penghargaan kepada sesama terutama dalam konteks menjadikannya pemimpin berdasarkan prestasi yang telah dicapainya, dan bukan berdasarkan prestise, apalagi keturunannya.
Ketujuh, bahwa perubahan harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan menjadi contoh dalam menjalankan perubahan tersebut. Kemampuan inilah yang dimiliki Nabi Muhammad Saw., dalam memimpin masyarakat Madinah untuk menuju perubahan yang berperadaban.
Di atas semua itu, proses hijrah harus kita lakukan demi menuju perubahan yang dicita-citakan bersama. Karena hanya dengan hijrah-lah kita dapat mencapai tujuan sosial dari kehidupan beragama dan berbangsa yaitu menciptakan kehidupan yang beradab dengan memuliakan seluruh manusia berdasarkan prestasi yang dilakukannya.