GAYA HIDUP HALAL SEBAGAI USAHA UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

GAYA HIDUP HALAL SEBAGAI USAHA UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

Oleh: Fitri Eka Aliyanti,SHI.,MA

 

“Rasulullah saw. bersabda: Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (H.R. Bukhari)

Para pembaca yang dirahmati Allah, benar adanya sabda Rasulullah saw. yang beliau katakan beratus tahun yang lalu tersebut. Modernisasi yang merupakan tanda kemajuan ilmu pengetahuan manusia seringkali tidak sejalan dengan kondisi iman dan takwa. Tidak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.

Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan. Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”

Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut. Yusuf Qardhawi (1993) menjelaskan mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud) (Ghazali, 2007).

Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ali (2016) menjelaskan bahwa kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.

Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.

Mengapa Harus Halal?

            Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud). Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.

Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya. Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah saw. agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.” (Ghazali, 2007). Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah swt.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.” Kemudian Rasulullah saw. menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (Sarwat, 2014).

Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah swt. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.?

Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah swt. Yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut (Sarwat,2014):

  1. Wujud keimanan kepada Allah

Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah swt.

  1. Agar doa tidak terhalang

Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.

  1. Mencegah api neraka

Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.

  1. Mencegah timbulnya penyakit

Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.

  1. Tidak mengikuti langkah setan

Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam as. dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah swt. menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.

Kesimpulan

            Para pembaca yang dirahmati Allah swt., demikianlah ulasan mengenai halal haram yang bisa penulis sampaikan. Dari sini kita memahami bahwa halal-haram bukan saja mengenai makanan dan minuman, akan tetapi menyeluruh ke segala aspek kehidupan. Dan kita juga bisa memahami bahwa pengaruh kehalalan sangat besar terhadap kualitas hubungan dan kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan itu selanjutnya akan berpengaruh terhadap terkabul atau tidaknya doa-doa yang kita panjatkan sebagai hajat hidup kita di dunia. Selain itu pula, Allah akan memelihara jiwa mereka yang melaksanakan gaya hidup halal baik di dunia (dengan kesehatan), maupun di akhirat (dengan terhindarnya tubuh kita dari api neraka). Wallahu a’lam bis shawaab.

Referensi

Al Ghazali, Imam. 2007. Rahasia Halal-Haram: Hakikat Batin Perintah dan Larangan Allah. Terjemahan oleh Iwan Kurniawan. Bandung: Mizania

Ali, Muchtar. 2016. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah: Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri Halal. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016

Sarwat, Ahmad. 2014. Halal atau Haram?Kejelasan Menuju Keberkahan. Jakarta: Gramedia

Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh Mu’ammal Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu